Untuk Gus Dur...

Picture
Di penghujung tahun 2009, Indonesia dikejutkan dengan berita duka: Abdurrahman “Gus Dur” Wahid telah berpulang.

Gus Dur, tokoh kharismatik dan cucu pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), mungkin hanya akan menjadi satu-satunya politisi, tokoh agama, mantan presiden, dan “pelawak” yang ingin saya kenang sampai kapan pun.

Saya masih ingat betul banyolan yang dilontarkan Gus Dur ketika kami, para jurnalis, berusaha meminta komentarnya tentang Sekte Hari Kiamat, yang berbasis di Bandung dan sedang menjadi sorotan publik.

Saat itu, kami begitu lelah menunggu Gus Dur seharian di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mungkin Gus Dur pun begitu lelah menyadari masih begitu banyaknya jurnalis yang menantinya di muka pintu kantornya: televisi swasta, radio, media cetak, dan media interaktif.

Seketika pintu ruang kerja Gus Dur terbuka. Ia -- yang telah setengah buta – berjalan seraya dituntun oleh beberapa staf dekatnya. Para jurnalis pun segera beringsut dan berhamburan mendekat ke arah Gus Dur.

“Gus, komen, Gus, tentang Sekte Hari Kiamat...,” para jurnalis berebut menyodorkan tape recorder ke dekat Gus Dur.

Yang ditanya tetap diam. Para staf yang berada di sekitar Gus Dur mencoba untuk menghalau para pemburu berita. “Gus, sebagai pemuka agama...apa komentar Anda, Gus...,” para jurnalis tak putus asa memberondong Gus Dur.

Wes, aku capek...ga ada komentar..,” ujar Gus Dur.

Reaksi Gus Dur menyemangati para staf-nya untuk semakin menghalau para jurnalis. Merasa putus asa, jurnalis pun berhenti bertanya, berhenti mengejar, dan membiarkan Gus Dur melangkah menuju pintu kaca di muka lobby Kantor PBNU. Di pelataran teras, sebuah mobil sudah menunggu Gus Dur.

Tiba-tiba saat akan mendekati pintu kaca, Gus Dur berpaling. “Kesini, wartawan, saya mau ngomong...”

Segera para jurnalis bergerak mendekati Gus Dur. “Dengarkan...ya...dengarkan..,” Gus Dur berujar. Para crew TV dan radio segera bersiap menyalakan kamera dan tape recorder, sementara saya – yang saat itu bekerja sebagai jurnalis di harian The Jakarta Post – segera mengeluarkan notes dan spidol, menyendengkan telinga, menunggu ucapan Gus Dur selanjutnya.

“Kiamat itu, ya, Ki-amat, itu adalah suami Nyi-amat...”

Demi mendengar rangkaian kalimat Gus Dur itu, para jurnalis terkesima sesaat sebelum akhirnya meledak dalam tawa.

“Astaghfirullah, Gus...” salah seorang rekan jurnalis, Teguh Tri Sartoro dari Radio Elshinta, melepas keterkejutannya. Tetapi tawa para jurnalis sudah keburu membahana, melepaskan semua rasa lelah karena menunggui Gus Dur seharian, kendatipun yang ditunggu kemudian hanya melontarkan banyolan.

                                                       ----

Saya belum cukup lama menjadi jurnalis jika dibandingkan dengan tingkat kepopuleran Gus Dur. Tetapi 11 tahun yang saya jalani sebagai jurnalis telah  membuat saya memiliki cukup banyak kenangan tentang dia.

Gus Dur pernah menuding seorang “tokoh militer” sebagai provokator di balik rusuh Ambon. Dengan inisial, Gus Dur menyebutnya “Mayjen K”.

Saat itu spekulasi merebak, siapa Mayjen K? Sebuah nama tersirat: Mayjen Kivlan Zen, salah satu tokoh militer yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok radikal. Isu itu telah menghantar Mayjen Kivlan untuk datang langsung ke Ciganjur – rumah kediaman Gus Dur di bilangan Jakarta Selatan.

Puluhan wartawan telah menanti kedatangan Mayjen Kivlan di Ciganjur. Saya ikut berangkat ke rumah Gus Dur karena isu itu berhubungan langsung dengan bit liputan saya di desk Polkam.

Saat Mayjen Kivlan tiba di Ciganjur, suasana tegang yang tergambarkan sebelumnya berubah cair karena sikap Gus Dur.

“Saya sendiri ga tahu ini kenapa Mayjen Kivlan datang kesini...saya sebut Mayjen K, kan bisa saja Mayjen Kunyuk...bukan Mayjen Kivlan,” ujar Gus Dur; duduk disebelahnya adalah Mayjen Kivlan – tertawa terbahak.

Puluhan wartawan yang mengelilingi meja tamu di ruang Gus Dur pun ikut tertawa.

                                                       ----

Gus Dur yang saya ingat adalah Gus Dur yang penuh keberanian mengambil langkah kontroversial.

Di hari-hari pertama pemerintahannya, dia mengeluarkan keputusan untuk membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan – untuk institusi yang kedua ini, langkah Gus Dur layak mendapat acungan jempol, mengingat represi yang dihadapi media di masa pemerintahan Orde Baru.

Gus Dur pun mengumumkan niatannya untuk mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan menyebarkan ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme.

Gus Dur pula yang berusaha menerapkan reformasi di tubuh militer yang kala itu masih amat tertutup pada berbagai isu perubahan: menciptakan pola transparansi, melepas ikatan dengan kelompok radikal kanan (baca: Front Pembela Islam, Pamswakarsa, dan sebagainya. – red), dan membuka pintu masuk masyarakat sipil untuk menginvestigasi berbagai pelanggaran HAM yang ditudingkan pada militer, termasuk yang terjadi di Timor Timur.

Semasa pemerintahan Gus Dur pula, kelompok etnis Cina dapat leluasa merayakan Hari Raya Imlek dan menjadikan hari perayaan tersebut sebagai hari libur nasional; serta mempertontonkan pertunjukan Barongsai yang menjadi tradisi saat Imlek. – harap dimaklum, pemerintahan Orde Baru amat mengenyampingkan kebudayaan dan tradisi kaum etnis Cina ini karena mengaitkan ras tersebut dengan “trauma komunisme”.

Sayang, langkah Gus Dur memperkenalkan prinsip-prinsip pluralisme, demokrasi dan transparansi tidak mendapat respons positif dari kebanyakan kalangan militer dan politisi. Lewat isu skandal korupsi yang melibatkan orang-orang dekat di lingkaran istana, kredibilitas Presiden Gus Dur mulai digerogoti.

Dalam Sidang Istimewa yang dipimpin oleh Ketua MPR saat itu, Amien Rais, Gus Dur pun dilengserkan -- tepat pada tanggal 23 Juli 2001, pemerintahannya berakhir; hanya sekitar 2.5 tahun sejak dia diangkat sebagai Presiden RI, 20 Oktober 1999.

Sebagai jurnalis, hingga kini saya masih menggugat keputusan Sidang Istimewa tersebut: Mengapa MPR mencabut mandat dari Presiden Gus Dur karena sang Presiden mengangkat Kapolri baru, Chaeruddin, dan bukan karena sang Presiden terbukti terlibat dalam korupsi – yang dikenal dengan Buloggate -- sebagaimana yang dituduhkan oleh para politisi di gedung parlemen?

Betapa tidak konsistennya dan betapa kasarnya dunia perpolitikan di Indonesia.

Kini, Gus Dur, yang dilahirkan di Jombang, 7 September 1940, telah berpulang. Dan – seperti kebanyakan tokoh yang dikecam semasa hidup – kini publik berebut memanggilnya “Bapak Bangsa”.

Mungkin saya muak pada hipokrasi publik...tetapi, Gus, seandainya Anda masih hidup, mungkin Anda hanya akan santai berujar pada saya: “Gitu aja kok repot...”


(Desember 30, 2009).