'Kita terlalu lama dipimpin para bebek'


   
RUMOR itu salah. Mutasi di TNI yang diumumkan Jumat pagi    (16/6) tak menyentuh Pangkostrad Letjen. TNI Agus Wirahadikusumah. Padahal, belakangan santer diomongkan Agus Wirahadikusmah dan orang-orang dekatnya di TNI bakal tergusur.
   
Hal itu berawal dari tersebarnya apa yang dinamakan Dokumen Bulak    Rantai. Dalam dokumen yang tak jelas asal-usulnya itu, diceritakan    adanya pertemuan para perwira di Bulak Rantai, kompleks perumahan    Perwita TNI-AD di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Pertemuan yang    dihadiri oleh sejumlah perwira dan beberapa politisi itu, menurut    dokumen tersebut, merupakan konspirasi militer dan politisi untuk    menguasai TNI. Disebut-sebut singkatan BAT (Bondan Gunawan yang Sekretaris Pegendalian Pemerintahan sebelum diganti, Agus Wirahadikusumah yang Pangkostrad, dan Tyasno yang Kasad). Dan Letjen. Agus Wirahadikusumah adalah tokoh sentralnya.
   
Benar? "Mereka masih berpikir dalam kultur lama," kata Agus. Yang dimaksudkannya dengan "mereka" adalah si pembuat dokumen. Kenyataan yang ada, lanjut Jenderal yang suka menunggang Harley Davidson itu, reformasi internal dalam tubuh TNI masih terganjal oleh kekuatan-kekuatan lama. "Selama ini memang ada kelompok yang tersisihkan, mereka orang-orang yang bersalah atau salah baca arah," ungkapnya.
   
Menurut sumber, sikap kritis Agus hingga berani mengritik atasan memang menjadi sorotan di kalangan TNI-AD. Bahkan ada rencana membawa dia ke Dewan Kehormatan Perwira, adakah Agus melanggar kode etik perwira atau tidak.
   
Berikut wawancara Tiarma Siboro dan Nezar Patria dari Majalah TEMPO dengan Jenderal yang sedang tergila-gila saxophone ini. Agus, perwira yang menggondol Master of Public Administration    dari Harvard University, AS ini berpendapat, politisi sipil kita masih lemah.
       
Tampaknya, sejumlah petinggi TNI masih sulit menahan godaan untuk tidak berpolitik. Kenapa?
   
Kultur militer kita saat ini masih dipengaruhi faktor eksternal, seperti hubungan sipil-militer kita pada rezim sebelumnya. Saya sebenarnya mengharapkan realisasi keputusan Rapim TNI yang lalu    --pentingnya TNI melepaskan fungsi sosial politiknya, kembali pada core, pertahanan dan keamanan negara. Maka semua interaksi militer dengan pihak eksternal harus sudah berubah, tidak lagi mendominasi seperti dulu.
     
Anda juga terbawa arus kepentingan eksternal itu?
   
Nah, boleh-boleh saja saya dianggap punya hubungan khusus dengan kekuatan eksternal. Tapi, itu dulu. Sebenarnya, yang saya lakukan saat ini adalah mendepolitisasikan peran sosial politik TNI yang terlalu luas, yang justru mengakibatkan lemahnya TNI.
     
Jadi, saya sebagai Pangkostrad tak boleh lagi bicara sosial-politik. Saya harus mengerti politik, tapi tak boleh membawa-bawanya dalam urusan political games. Banyak yang datang pada saya --mahasiswa, LSM dan segala macam lapisan masyarakat-- karena menganggap kulturnya masih seperti dulu. Saya bilang, eh, hentikan. Saya sudah tak pantas lagi omong politik. Kalau bicara      dengan saya, mari bicara soal perang, strategi militer, kekuatan senjata. Fungsi saya disitu.
     
Lalu bagaimana seharusnya sipil menyikapi situasi demokratis ini?
   
Saya pikir ini kesempatan yang tepat bagi sipil, terutama partai politik, untuk mengkonsolidasikan menejemennya, mereaktualisasi dan meredefinisi peran politik itu. Tujuannya, agar partai benar-benar mengakar pada organsisasinya, tak membuka akar baru dengan kekuatan di luar partai, khususnya TNI.
     
Itu salah satu dasar demokrasi. Dan bicara soal demokrasi, tentu saja demokrasi dalam arti sesungguhnya. Yakni, yang diwarnai nuansa keterbukaan, kebebasan, kebiasaan berbeda pandangan dan pendapat. Kita semua harus mendukung reformasi hukum dan penegakan hak asasi manusia.
     
Saya melihat, saat ini demokrasi berkembang pesat tapi tak ada rambu hukumnya. Ini terlihat dari munculnya kerusuhan di berbagai tempat. Misalnya, pembakaran kendaraan-kendaraan TNI di Salemba (Jakarta Pusat) itu. Kalau saya, kita harus berani mengatakan, siapa merusakkan aset-aset negara akan ditindak. Kalau perlu, di tempat kejadian diberlakukan darurat sipil atau darurat militer.
Harus ada law enforcement. Lihat saja kerusuhan di Seattle, AS. Waktu itu ada demo anti-WTO, berbuntut kerusuhan. Kan lalu ada tindakan keras. Di sini, saya melihat tentara seperti kehilangan     kekuatannya, katanya karena dibayang-bayangi hukum dan hak asasi manusia. Seharusnya hukum dan hak asasi manusia menjadi kekuatan untuk menegakkan aturan.
     
Maksudnya?
   
Pemerintah pusat dan daerah maupun DPR dan DPRD harus memahami hal itu. Begitu melihat suatu keadaan, mereka harus memantau secara intensif. Kalau perlu dia siaga di Pemda, dan dievaluasi jam demi jam. Kalau keadaan terus berkembang mengkhawatirkan segera bikin sidang darurat untuk ambil keputusan. Keputusan politiknya apa, keputusan pemerintah apa. Katakanlah, keputusan untuk menggerakkan TNI karena polisi tak mampu lagi. Karena itu, TNI harus turun dengan payung politik dan payung hak asasi manusia, juga harus mengembangkan contingency plan. Harus ada tindakan yang diambil, baik lewat peringatan sampai dengan penggunaan peluru tajam. Itu bisa dibenarkan, dalam rangka meredam kerusuhan agar tak meluas.
     
Di tengah kuatnya penolakan terhadap TNI, apa mungkin membuat perencanaan seperti itu?
   
Itu sangat mungkin dilakukan, tetapi saya katakan tentaranya harus profesional. Bukan main hancur-hancuran, rusak-rusakan, atau punya agenda politik. Nah, dari dulu saya bilang, bersihkan dulu TNI, agar menjadi benar.
     
Apa yang harus diprioritaskan oleh militer, menanggulangi gejolak sosial, atau reformasi internal?
   
Agenda utama dalam reformasi internal militer adalah proses penyesuaian pikiran terhadap kondisi saat ini. Ke depan, hal itu harus terus kita lakukan. Prioritas kedua, tindakan tegas dari pimpinan TNI -- barangsiapa bermain dengan networking di luar TNI, atau bermain politik, segera panggil: hei, kamu bisa berubah nggak? Kalau tidak, berhenti jadi tentara. Kan begitu. Kalau TNI ingin kuat, bersihkan TNI dari kekuatan masa lalu.
     
Dalam krisis, umpama Gus Dur jatuh, apakah TNI akan ambil alih kekuasaan?
   
(Itu tindakan) tidak populer. Kredibilitas TNI belum pulih. Jadi, sepanjang TNI belum dipercaya oleh rakyat, tidak mungkin melakukan hal itu. Pasti TNI akan berhadapan dengan rakyat, karena rakyat sudah mengerti. Bahkan mereka bisa menilai sampai dengan kualitas orang per orang di tubuh TNI. Mereka tahu yang namanya merah, putih, kuning segala macam itu.
     
Apa ada kemungkinan kekuatan lama dalam tubuh TNI kembali lagi?
   
Kekuatan-kekuatan lama ini sedang berupaya (kembali). Mereka sedang berhadapan dengan hukum. Banyak yang belum menyelesaikan pertanggungjawabannya secara hukum. Kasus pembantaian Bantaqiah apa sudah selesai? Ini semuanya menuntut keksatriaan, tanggung jawab     seorang pemimpin. Kasus penculikan, kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi, Tim-Tim, Ambon, Banyuwangi, Kalimantan Barat, apa itu semua sudah selesai?
     
Dengan persoalan yang begitu banyak, apakah rekonsiliasi nasional bisa menyelesaikannya?
   
Pada semua aspek, baik pada politik, ekonomi termasuk bisnis, masalah TNI juga, rekonsiliasi memang satu-satunya jawaban untuk menyelesaikan berbagai persoalan rumit dan kompleks. Cuma, rekonsiliasi macam apa? Sudah sering saya katakan, apa mungkin setan dan malaikat bisa rekonsiliasi? Susah, ternyata. Silakan dipikirkan oleh para pakar, bagaimana caranya.
     
Saya kira jawaban yang bagus adalah supremasi hukum. Hukum jalan terus. Di Korea juga begitu. Soal nanti (mereka yang diputus salah) dimaafkan, itu masalah lain. Masyarakat Indonesia kan masyarakat pemaaf.
     
Kelihatannya sikap ksatria para jenderal TNI telah hilang...
   
Dari dulu juga sudah menjadi dogma bahwa tak ada prajurit yang salah. Yang salah itu adalah pimpinannya atau perwira. Jadi keksatriaan dan tanggung jawab pimpinan kita saat ini sedang diuji. Jika pimpinannya ksatria maka ia akan mempercepat proses pemulihan kredibilitas dan kepercayaan rakyat. Melihat yang terjadi di Aceh, lewat kasus Bantaqiah, saya bangga dengan prajurit saya yang begitu kuat menghadapi proses pengadilan. Saya katakan, pada prinsipnya mereka tak salah, karena yang bersalah adalah pimpinannya.
     
Bagaimana TNI memaksakan profesionalisme, jika kenyatannya masih banyak yang bergantung ke politik?
   
Itu sebagai akibat betapa terkooptasinya kita dalam suatu kultur, atau budaya gantung-menggantung itu. Begitu saya dipercaya jadi Pangkostrad, wah si Agus itu cantolannya kemana? Padahal saya sudah bilang, saya tak punya ketergantungan pada siapa pun, termasuk kepada Presdien Gus Dur. Saya kira pikiran seperti itu sudah harus dibuang.
     
Saya cuma ingin mengembalikan harkat TNI. Kepemimpinan Orde Baru kurang memperhatikan talent scouting, kurang memperhatikan sistem recruiting yang berlaku. Akibatnya, (kriteria) yang dipakai adalah kedekatan, menejemen gantung-menggantung. Kita memang terlalu lama dipimpin oleh para bebek.
     
Anda kan dekat dengan Bondan Gunawan, mantan Sekretaris Pengendali Pemerintahan?
   
Saya kenal Bondan, karena kami punya pandangan sama --soal nasionalisme dan soal kerakyatan. Karena itu, Bondan bergabung dengan sebuah yayasan yang saya pimpin, yayasan untuk pendidikan bangsa. Tapi jangan diartikan kalau saya kenal Bondan maka saya jadi Pangkostrad. Aneh juga kalu ada tuduhan Bondan mengobok-obok TNI. Ha ha ha, mana mungkin. Saya kira tidak begitu.


* Majalah Tempo, Juni, 2000