Perjalanan Spiritual ke Bumi Timor Loro Sae



Sebelum menjadi sebuah negara kecil yang merdeka, aku beberapa kali mengunjungi tempat indah ini. Alamnya tak banyak berubah, hanya suasana hati penduduknya yang mengubah tempat ini.

***

Timor Loro Sae artinya tempat matahari terbit. Aku selalu menyukai alam di negeri ini, sebuah kolaborasi yang indah antara pemandangan pantai dan pegunungan yang memesona.

Namun, di zaman pendudukan Indonesia, berkeliling bumi Timor tak bisa dibilang rekreasi.  Hampir di semua sudut, tampak tatapan mata warga setempat yang tak ramah dan penuh curiga. Sebagai orang Indonesia, aku paham perasaan mereka: marah, muak, tapi tidak berdaya.

Adalah sebuah hal yang amat biasa pada masa itu jika setiap kali kita tiba di hotel-hotel di Dili, nampak aparat intelijen Indonesia duduk-duduk mengamati tamu-tamu. Tidak jarang mereka sengaja menyingkap kemeja mereka untuk menunjukan bahwa di pinggang mereka terdapat senjata genggam otomatis dan handy-talky.

Aku paling senang menginap di Hotel Turismo, sebuah hotel mirip losmen yang berlokasi dekat pantai. Setiap pagi dalam kunjungan-kunjunganku, aku selalu meluangkan waktu untuk berdiri menatap matahari terbit dari garis pantai, sementara dari kejauhan nampak siluet Patung Kristus Raja yang terletak di daerah Pasir Putih, sekitar 10 kilemeter ke arah Timur dari Ibu Kota Dili.

Dalam situasi ”perang”, aku hanya bisa berangan-angan untuk datang ke tempat Patung itu berada. Karena setiap kali aku berniat pergi, beberapa intel yang ditugaskan mengamati keluar-masuk tamu-tamu di Hotel Turismo akan berkata, ”Jangan, kondisi tidak aman.”

Aku tidak paham maksud mereka. Apakah sekedar mengintimidasi atau situasi sekitar memang bahaya dan jauh dari kendali mereka.

Satu pemandangan yang selalu mengiris hati adalah melihat pedagang keliling di sekitar Hotel yang biasanya menjajakan Tais (kain tenun khas Timor-Leste). Kaki mereka telanjang dan kurus. Mata mereka tak ramah meskipun sedang melayani ”orang Indonesia” yang ingin membeli Tais. Mereka pun tidak bisa masuk ke halaman Hotel karena ”itu adalah teritori intelijen Indonesia”, sehingga hanya berdiri di luar pagar.

Selama masa-masa itu, ketika aku berkeliling ke Los Palos atau Viqueque dengan menggunakan taksi, pengemudinya selalu bertanya apakah aku datang dari Jakarta. Aku selalu mengiyakan. Selanjutnya, jika mereka penduduk asli Timor-Leste, mereka akan diam seribu bahasa. Lain jika pengemudinya berasal dari Lombok atau Kupang atau Flores. Mereka akan lebih banyak bercakap-cakap tentang apa saja, kecuali soal militer Indonesia dan kebijakan Jakarta di tanah itu.

Sebagai masyarakat penganut taat ajaran Katolik, wajah Yesus Kristus terpampang hampir di setiap tempat, termasuk di dalam taksi. Rosario bergelantungan di kaca spion dan di leher para pengemudinya. Satu hal yang menarik, taksi di Timor Timur tidak bedanya dengan kendaraan umum di tempat-tempat lain di Indonesia. Mereka bebas mengambil penumpang lain di tengah jalan selama sedan mereka masih bisa memuat penumpang. Dan sebagai ”orang Indonesia”, tidak jarang aku jadi penumpang terakhir yang diantar ke tujuan, meski pun aku sebenarnya penumpang yang pertama naik.

Satu hari, aku naik taksi menuju kantor gubernur. Aku tahu jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 10 menit dari Hotel Turismo. Di tengah jalan, taksi itu mengangkut penumpang lain, empat orang lain pemuda Timor. Mereka pun langsung berbincang akrab dalam Bahasa Tetun -- bahasa asli penduduk Timor-Leste.

Aku tidak paham percakapan mereka. Tetapi aku tahu arah taksi telah semakin menjauh dari kantor gubernur. Aku berdoa semoga aku selamat. Taksi melaju kencang melewati jalanan berbukit. Meski jantung berdegup kencang, aku berusaha tampak tenang karena tak ingin terlihat panik dan memusuhi mereka.

Apa mau mereka, pikirku pasrah

Jalan menuju bukit mulai lengang. Hanya satu dua kendaraan pribadi yang melintas. Sementara itu, tak satu pun dari mereka yang berbicara. Karena makin tidak tenang, aku minta pak sopir untuk menghentikan taksinya. Dia menoleh, dan bertanya dingin, ”Kenapa? Takut? Kami tidak akan berbuat apa-apa pada perempuan Indonesia. Kalau mau turun sekarang, tidak akan ada taksi lewat.”  ”Saya sudah terlambat,” jawabku.

Pemuda yang lain berkata, ”Kalau Ibu mau turun, Ibu malah semakin terlambat. Tidak ada kendaraan. Tujuan kami hanya sebentar lagi sampai, nanti juga kami turun.” Tapi aku tidak ingin berargumentasi. Aku minta taksi dihentikan, aku keluarkan uang, membayar argo, dan turun. Si pengemudi dan pemuda-pemuda itu hanya memandang. ”Hati-hati ya, Bu.” Hanya itu pesan singkat pengemudi taksi. Aku hanya tersenyum dan menunggu lebih dari satu jam untuk melanjutkan perjalanan.

Begitulah, di wilayah konflik, ketakutan dan kecurigaan yang tidak perlu bisa muncul kapan saja.

***

Bulan Februari lalu, aku kembali menjejakkan kali di Bumi Loro Sae setelah tanah ini memperoleh kemerdekaannya melalui referendum tahun 1999.

Banyak yang berubah. Bandara udara mereka tidak lagi bernama Comoro dan ketika pesawatku mendarat, crew di kabin mengucapkan selamat datang ”di Bandara Udara Nicolau Lobatto” kepada para penumpang. Entah kenapa, hatiku senang sekali. Nicolau Lobatto adalah salah satu pejuang besar Timor-Leste yang turut berperang melawan tentara Portugis yang telah bercokol di wilayah itu selama 400 tahun.

Nicolau Lobatto bahkan sempat dipilih menjadi presiden oleh kelompok Fretilin ketika mereka mendeklarasikan kemerdekaan tanah Timor pada bulan November 1975, di tengah perang saudara antara kelompok-kelompok politik pendukung integrasi tanah tersebut dengan Indonesia. Ketika Lobatto tewas di tangan militer Indonesia, tampuk pimpinan kelompok resisten jatuh ke tangan Xanana Gusmao -- Presiden Timor Leste saat ini.

Ketika kendaraanku bergerak menuju Dili, aku mulai memperhatikan nama-nama jalan protokol yang aku lewati. Sebelum merdeka, jalan terbesar di kota itu diberi nama ”Jalan Ibu Tien Soeharto”, kini nama jalan itu telah diganti menjadi ”Jalan Presiden Nicolau Lobatto.”

Hampir semua papan nama di gedung-gedung ditulis dalam bahasa Portugis. Ya, kini masyarakat Timor-Leste mulai dibiasakan untuk menggunakan Bahasa Portugis sebagai bahasa pengantar sehari-hari, selain Bahasa Inggris dan Bahasa Tetun. Mereka menggunakan Bahasa Indonesia hanya jika bertemu dengan ”kaum pendatang dari Indonesia,” yang sebagian besar berdagang, mulai dari bisnis kecil-kecilan di pasar tradisional sampai pemasok benda-benda elektronik.

Perubahan lain yang aku rasakan adalah begitu banyak wajah yang tersenyum sekalipun mereka tahu aku orang Indonesia. Seorang wanita Timor yang aku temui, bahkan tanpa canggung langsung berbicara dalam bahasa Indonesia, bercerita tentang antusiasme rakyat Timor-Leste berbaris di sepanjang jalan-jalan di Dili menyambut kedatangan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru-baru ini mengunjungi negara tetangga tersebut. Dengan mata berbinar, wanita itu bahkan bercerita bagaimana saat itu hanya ada dua bendera yang berkibar di sepanjang ruas jalan-jalan di kota Dili: Bendera Merah-Putih dan Bendera Timor Leste.

Semua orang Timor Leste yang aku jumpai tak sungkan mengakrabkan diri, apalagi setelah mereka tahu aku datang meliput ke sini dan masuk dalam rombongan pengungsi yang dievakuasi dari tanah Timor ketika referendum berlangsung tahun 1999.

Dengan menyewa taksi seharga US$70 per hari, aku berkeliling ke beberapa tempat yang dianggap punya nilai historis oleh masyarakat Indonesia dan Timor-Leste, termasuk tentu saja mengunjungi Patung Kristus Raja. Kali ini, taksi yang aku tumpangi tidak menaikkan penumpang lain di tengah jalan. Bukan karena aku khusus menyewanya, tetapi karena memang situasi sudah berbeda. Banyak kendaraan umum lalu lalang di jalan-jalan – yang sayangnya belum direhabilitasi sehingga masih banyak lubang dan amat berdebu.

Si pengemudi taksi pun dengan senang hati menjadi guide-ku hari itu. Dia tidak henti bercerita sambil menyetel kaset Peterpan. ”Tahun lalu Peterpan manggung disini. Wah, penontonnya banyak sekali, Presiden Xanana saja ikut nonton, padahal waktu itu sedang turun hujan,” kata supir taksi tersebut penuh semangat.

Ketika kami tiba di Pasir Putih, aku menatap bukit tempat Patung Kristus Raja berdiri. Tinggi sekali, pikirku. Sopir taksiku mulai memanduku menaiki  anak-anak tangga yang jumlahnya tidak sempat aku hitung lagi saking banyaknya. Di setiap tangga perhentian, ada diorama-diorama yang menggambarkan Jalan Salib (Via Dolorosa) yang dilalui Yesus, mulai saat disiksa, dipaksa memikul salib ke atas Bukit Golgota, sampai saat wafat di Kayu Salib.

Tinggal dua tanjakan anak-anak tangga ketika kami tiba di pelataran luas menuju sebuah altar. Guide-ku berdoa di muka altar dan menyalakan lilin. Aku juga ikut berdoa. Lalu kami naik lagi hingga sampailah di muka Patung yang tingginya lebih dari lima meter itu. Aku menengadah ke wajah Patung itu. Terasa silau oleh panasnya sengatan matahari.

Patung itu berdiri tepat di atas sebuah bola dunia besar dengan relief peta Indonesia. Aku tersenyum. Petanya masih ada, bisikku dalam hati.

Dari titik Patung Kristus Raja, tampak deretan bukit hijau dan garis panjang pantai Pasir Putih. ”Itu Malay (sebutan orang Timor untuk orang kulit putih) sedang mandi-mandi,” ujar guide-ku menunjuk ke arah ”semut-semut kecil” yang sedang bermandian di pantai dalam terik matahari.

Usai menuruni tempat itu, aku memasuki pasar-pasar tradisional yang menjajakan Tais. Ada beberapa tempat, termasuk di daerah Mandarin. Semua harga dalam dolar, dan Tais yang paling mahal – aku berhasil menawarnya hingga ”cuma” 40 dolar  – adalah yang dibuat oleh pengrajin Tais dari wilayah Oecussi. Benangnya halus dan warnanya lebih lembut dibandingkan dengan Tais yang dibuat oleh 12 kabupaten lainnya di seluruh Timor-Leste.

Menjelang malam terakhirku di Timor Leste, beberapa “teman baru” yang sempat aku kenal selama kunjungan singkatku itu, mengajak aku untuk bergabung dalam sebuah resepsi makan malam bersama beberapa pekerja kemanusiaan, termasuk juga para staf dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – yang memang masih memperpanjang misi mereka di negara berusia bayi tersebut.

Selama jamuan makan malam itu, tak putus cerita dan canda yang mereka lontarkan, termasuk pengalaman mereka mengungsi ke gunung-gunung  demi menyelamatkan diri dari amukan kelompok “milisi pro-Jakarta” sesaat setelah PBB mengumumkan kemenangan kelompok pro-kemerdekaan dalam referendum 1999.

Aku tak banyak ambil bagian dalam percakapan itu. Hanya mendengarkan dan ikut hanyut dalam tawa bersama mereka. Tiba-tiba saja aku tersadar bahwa sebagian masyarakat Timor Leste telah berhasil melihat kepahitan-kepahitan yang mereka hadapi semasa pendudukan Indonesia sebagai sebuah joke – yang tentu saja itu ibarat obat mujarab untuk menyembuhkan sebuah luka batin.

”Perjalanan spiritual”, begitu aku menyebut kunjungan pertamaku ke Timor-Leste sejak tanah ini merdeka. Wajah-wajah mereka masih kuat dalam ingatanku: senyum dan merasa bersaudara dekat dengan rakyat Indonesia.

*Published by The Reader’s Digest in April 2005