Pati Geni Jenderal Wirahadikusumah



(Diambil dari artikel Laporan Utama Majalah TEMPO edisi Nomor 22/XXIX/31 Juli - 6 Agustus 2000)


LETNAN Jenderal Agus Wirahadikusumah tengah melakoni kehidupan bak pertapa. Ia baru saja memenuhi sebuah nazar. Semua barang kesayangannya motor Harley Davidson, mobil, dan perhiasan—telah ia jual. Di hadapan Kiai Zainuddin M.Z., dana yang terkumpul ia sumbangkan untuk kesejahteraan prajurit Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan pembangunan Masjid Bantaqiah di Aceh. Ia juga makin rajin berpuasa. "Saya tak punya apa-apa lagi. Ibaratnya saya ini tengah menjalankan pati geni (api padam, prihatin)," katanya kepada TEMPO.

Kini, bahkan karir militernya pun terancam padam. Selasa ini ia sudah harus menyerahkan tongkat komando Panglima Kostrad yang baru empat bulan digenggamnya, sejak akhir Maret lalu. Sabtu kemarin, pada pukul 15.00, Agus bertemu Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Endriartono Sutarto di Markas Besar AD, Jakarta. Ketika itulah keputusan pencopotan dirinya disampaikan. Apa posisi Agus berikutnya, sama sekali tak disinggung.

Menurut seorang jenderal, keponakan mantan wakil presiden Umar Wirahadikusumah ini cuma akan diparkir sebagai perwira tinggi Markas Besar TNI alias tak diberi jabatan apa pun. Padahal, Oktober nanti ia baru genap 49 tahun, usia yang terlalu muda untuk masuk kotak bagi seorang jenderal yang baru enam tahun lagi mengakhiri masa dinas aktifnya di militer.

Selanjutnya, pos panglima korps baret hijau akan diisi Mayjen Ryamizard Ryacudu, Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya saat ini, yang juga rekan seangkatan Agus di akademi (1973). Adapun tongkat komando Pangdam Jaya diserahkan kepada Pangdam VII/Wirabuana, Mayjen Slamet Kirbiantoro, yang dikenal dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama.

Pergeseran ini, menurut seorang pejabat Departemen Pertahanan, dipastikan Kamis pekan lalu. Ketika itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto dan Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. melaporkannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara. Gus Dur menyatakan setuju. Maka, keesokan harinya surat keputusan pun diteken Panglima Widodo.

Kabar bakal adanya mutasi di tubuh TNI dikukuhkan Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Graito Usodo. "Surat keputusannya sudah ada dan akan diumumkan awal Agustus ini," katanya memastikan. Cuma, bagaimana rinciannya, tak dijelaskan Graito.

Ini berarti sinyalemen tentang derasnya tekanan untuk menggusur Agus dan kelompoknya, yang telah kencang beredar sejak gelombang mutasi TNI awal Juni lalu, mengandung kebenaran. Tak lama setelah Bondan Gunawan—mantan Sekretaris Negara yang dianggap menjadi jalur utamanya ke Istana_terjungkal, kabar bakal dicungkilnya kelompok Agus dari berbagai pos strategis kian santer. Apalagi, hanya beberapa saat sebelum mutasi berlangsung, beredar luas "Dokumen Bulakrantai". Selebaran yang hingga kini tak terkonfirmasi keasliannya itu menyebut-nyebut skenario kelompok Agus untuk menguasai pucuk militer. Ketika itu cuma Asisten Teritorial Kasad Mayjen Saurip Kadi yang terpental dari kursinya. Agus, bersama Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Romulo Simbolon, masih bisa lolos dari lubang jarum.

Apa sebenarnya "dosa" Agus? Menurut sejumlah sumber TEMPO di militer, terdepaknya Agus tak lepas dari perseteruan laten antara kelompok Agus dan kubu Wiranto-Djadja Suparman. Gebrakan Agus membongkar Kostradgate pada pertengahan Juli kemarin hanya membuat keberangan kubu Wiranto memuncak. Waswas bakal ikut terseret, meruapnya skandal ini juga tak urung meresahkan para sesepuh militer yang pernah mengomandani kesatuan elite itu.

Kasus ini menyangkut pembobolan brankas Yayasan Dharma Putra, yayasan milik Kostrad, senilai Rp 190 miliar—telah membengkak dari nilai semula yang "cuma" Rp 173 miliar (lihat Tempo edisi 21). Yang menggegerkan, aib ini menyeret nama Letjen Djadja Suparman, Pangkostrad sebelum Agus dan Komandan Sekolah Staf Komando TNI, serta sejumlah petinggi korps baret hijau lainnya. Jika tuntas diusut, efek domino skandal ini bukan tak mungkin punya daya rambat yang layak membuat jantung para jenderal berdebar kencang.

Karena itulah, kata seorang sumber tepercaya, sedari mula Agus telah diperingatkan seorang petinggi Markas Besar AD untuk mengerem langkahnya. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letjen Sugiono pun, kabarnya, pernah diminta seorang mantan panglima TNI untuk menyetop gebrakan gawat itu. Tak ambil peduli, Agus memilih terus melaju.

Karena itu, tak ada cara lain, Agus mesti segera digusur. Menurut M.T. Arifin, Rabu pekan lalu, para jenderal dan wartawan yang tergabung di kelompok ini bertemu di rumah Wiranto di kawasan Kuningan, Jakarta. Kasus korupsi Kostrad—kesatuan yang juga pernah dikomandani Wiranto—jadi agenda utama pembahasan. Wiranto dan Djadja lalu melobi sejumlah kawannya yang duduk di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) untuk menggelar sidang mencopot Agus dari kursinya.

Sementara, para jenderal gaek mendesak Wakil Presiden Megawati untuk meminta Presiden Abdurrahman melepas Agus. Didesak dengan argumen demi keutuhan militer, Abdurrahman, yang posisi politiknya tengah terjepit, dengan berat hati menyalakan lampu hijau. Maka, sejak Kamis pekan lalu, Wanjakti pun bersidang.

Di sini, menurut beberapa sumber di kalangan militer, berhadapan dua front. Suara Panglima TNI Laksamana Widodo, Chaniago, dan Kepala Staf Teritorial Letjen Agus Widjojo senada mendesak pemecatan Agus, yang dituding bermain politik di luar jalur TNI. Upaya Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Tyasno Sudarto mempertahankan Agus sia-sia saja. Jumat malam kemarin, keputusan resmi diketuk. Mayjen Ryamizard lalu bulat disepakati sebagai penggantinya.

Pengisian pos Pangdam Jaya oleh Slamet Kirbiantoro tak semulus golnya nama Ryamizard. Chaniago semula menjagokan Pangdam Udayana saat ini, Mayjen Kiki Syahnakrie. Tapi Laksamana Widodo dan Jenderal Tyasno berkeberatan. Mereka mendukung Slamet Kirbiantoro. Chaniago akhirnya setuju dengan catatan serah terima jabatan Pangdam Jaya dilakukan setelah sidang tahunan.

Tapi kepada TEMPO Jenderal Djadja membantah telah ikut mempengaruhi proses penggusuran Agus ini. Ia bahkan mengaku tak tahu-menahu sama sekali. Soal keterlibatannya dalam skandal Kostrad, Djadja pun tak bersedia memberi penjelasan. Dalam tanggapan tertulisnya, ia menyatakan tak bisa menjawab pertanyaan TEMPO karena masalah ini telah ia laporkan ke Kasad dan tengah dicek kebenarannya di lapangan. "Sehingga, secara prosedur hanya Kasad melalui Irjenad yang berhak menjawab semua itu," demikian ditulis Djadja.

Skandal Kostrad bukan faktor satu-satunya Agus terdepak. Pemikiran jenderal penyandang gelar master of public administration dari universitas terkemuka, John F. Kennedy School of Government, Harvard University ini kerap kali melabrak pakem dan tabu militer. Sikap radikalnya untuk sesegera mungkin memenggal peran dwifungsi TNI—yang jadi tuntutan agenda reformasi—tak pelak makin membuat banyak jenderal tak ketulungan memendam dongkol.

Misalnya, ketika kebanyakan jenderal lain sibuk menyelamatkan paham dwifungsi TNI, dialah jenderal pertama yang lantang menyatakan agar fraksi baju hijau memilih sikap abstain dalam sidang umum MPR lalu. Lebih jauh lagi, ia bahkan telak-telak menyebut dwifungsi tentara adalah anak haram rezim Orde Baru. Dan yang paling "fenomenal", pernyataan frontalnya ketika mendesak Jenderal Wiranto mundur dari kabinet setelah tersandung kasus pelanggaran hak asasi Timor Timur. Padahal, ketika itu Wiranto tengah sibuk bertahan. Agus pun keras bersilang pendapat dengan statemen Djadja soal "pasukan bakal ngamuk jika jenderal TNI diobok-obok", yang terkesan membela Wiranto. Oleh banyak jenderal, ia dinilai melangkah terlampau jauh ketika berniat menciutkan, bahkan menghapus, komando teritorial—elemen penting dwifungsi tentara.

Lagipula, naiknya kelompok Agus ke sejumlah pos strategis dalam mutasi Februari lalu dinilai telah mengacaukan arah gerak gerbong militer. Sejumlah jenderal yang dekat dengan Wiranto saat itu memang banyak tergusur. Beberapa di antaranya bahkan sampai harus masuk kotak, untuk memberi jalan bagi promosi Agus ke kursi bintang tiga. Ketika itu, Presiden Abdurrahman secara terbuka mengaku telah menitipkan Agus—saat itu Pangdam Wirabuana—agar ditarik ke Jakarta.

Pendeknya, di mata banyak jenderal, Agus adalah—meminjam istilah Abdurrahman—biang kerok dari mencuatnya pertentangan keras di tubuh TNI. "Pencopotan Agus untuk menyelesaikan benturan keras antarkelompok di tentara," kata M.T. Arifin.

Berbagai reaksi keras dan kecaman pedas bolak-balik tertuju ke arah Agus. Juga tudingan sinis. "Ah, dia itu sok reformis," kata seorang jenderal di Cilangkap. Bahkan, perwira tinggi yang sebetulnya juga masuk kelompok reformis itu sampai menilai bahwa pernyataan Agus soal pengunduran diri Wiranto itu telah mengkhianati kode etik perwira. "Agus dan kawan-kawannya itu layak dihadapkan ke depan sidang Dewan Kehormatan Perwira," katanya.

Tapi lelaki kelahiran Bandung ini rupanya tipe kepala batu. Ia maju terus. Bukan mundur teratur, skandal yayasan Kostrad malah ia bongkar. Ia pun makin terkucil. Nyaris tanpa teman. Dan Gambir, markas besar Kostrad, sebentar lagi mesti ditinggalkannya. "Dihitung-hitung, mungkin 90 persen jenderal memang tidak suka sama saya," katanya sambil terkekeh.

Buat para petinggi militer, berbagai pemikiran dan langkah Agus boleh saja dinilai kelewat batas. Tapi, desakan menghapus dwifungsi TNI dan memberantas korupsi di tubuh militer tak akan mengalami pati geni. Dengan atau tanpa Agus.

* Karaniya Dharmasaputra, Tiarma Siboro, Arif Kuswardono, Wens Manggut